Sederetan analisa dan berbagai
sebab musabab tentang terjadinya kemandegan gerak tajdid Muhammadiyah
telah sering dikemukakan. Kejumudan berpikir warga (mujtahid)
persyarikatan dan membanjirnya para oportunis atau “bajing loncat” di
tubuh Muhammadiyah -terutama amal usahanya- merupakan analisa yang
paling sering kita dengar. Kedua analisa tersebut semakin penting lagi
untuk terus digulirkan (khususnya bagi warga perserikatan) seiring
dengan semakin mepetnya pelaksanaan “hajatan paling meriah” dan bisa
jadi paling mewah bagi warga Muhammadiyah untuk memilih pemimpin
(sebagai agenda utama) dalam arena muktamar ke-45 di Malang.
Dugaan kuat akan
terjadinya kejumudan berpikir dan membanjirnya bajing loncat dalam
Muhammadiyah, sebenarnya dua hal sangat berhubungan. Sebab terjadinya
kemandegan berpikir atau bahkan kemandegan gerak amal usaha Muhammadiyah
di sebabkan sudah terlalu banyak bajing loncat di tubuh persyarikatan,
bahkan mereka tidak jarang berada dalam posisi strategis yang sangat
menentukan warna dan wajah ormas Islam terbesar di Indonesia ini.
Pertanyaannya adalah
bagaimana para bajing loncat itu bisa masuk ke tubuh Muhammadiyah?
Apakah ada yang salah dengan sistem pengkaderan persarikatan? Atau
saking terbukanya, organisasi ini tidak begitu selektif untuk memberikan
amanah pada seseorang? Atau gejala
pragmatisme dan oportunisme telah sangat mewabah pada setiap elemen
persarikatan? Menurut hemat penulis, pertanyaan ke dua dan seterusnya
adalah jawaban bagi pertanyaan pertama. Bagaimana tidak? Kepentingan
jangka pendek dan semangat mencari hidup di persyarikatan telah
menyebabkan begitu mudahnya masuknya para bajing loncat, dan sekaligus
ini mencerminkan sebuah sistem pengkaderan yang buruk. Hanya karena
telah mengantongi kartu anggota dan pernah aktif di persyarikatan atau
ortomnya, seseorang bisa disebut sebagai kader Muhammadiyah dan
dipercaya untuk memikul amanah persyarikatan. Inilah yang kemudian akan
disebut sebagai “Kader Karbitan”.
Ciri dan Perilaku Kader Karbitan.
Namun demikian, dari
awal perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Kader Karbitan
bukanlah orang yang baru memiliki kartu anggota atau baru aktif di
Muhammadiyah, apalagi ditujukan pada mereka yang tidak punya nasab
Muhammadiyah secara genetik (tidak terlahir dari keluarga Muhammadiyah),
sama sekali bukan. Karena tidak semua orang yang telah lama mengantongi
KATAM dan berkecimpung di Muhammadiyah serta terlahir dari keluarga
Muhammadiyah betul-betul paham akan watak dan karakter persyarikatan
(Kepribadian Muhammadiyah). Bahkan yang sering terjadi, khususnya kasus
semangat untuk mengkooptasi dan memonopoli amal usaha, dilakukan oleh
“kader” yang telah lama aktif dan merasa leluhurnya berjasa dalam
mengembangkan amal usaha persyarikatan. Karena mereka dengan sangat
jelas dapat melihat dan merasakan keuntungan materil yang terkandung di
dalamnya (amal usaha). Namun sebaliknya, bisa jadi orang yang baru aktif
dan baru terdaftar sebagai anggota serta tidak memiliki nasab
Muhammadiyah, justru hadirnya mereka dalam persyarikatan dimotifasi oleh
pemahaman yang benar akan watak dan karakter persyarikatan.
Sebagaimana
diketahui, wujud kepribadian Muhammadiyah terletak pada hakekat
Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah amar ma’ruf nahi munkar
dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, Rumusan ini seringkali
dijadikan sebagai doktrin tanpa diiringi oleh penjelasan bahwa di
dalamnya terdapat sifat Tajdidiyah (Pembaharuan), Ishlahiyah (damai) dan Tabsyiriyah
(Menggembirakan) serta menuntut warganya untuk bersikap aktif, kreatif,
dinamis, fleksibel, konstruktif, lapang dada, adil dan korektif, ikhlas
dan tidak mengenal putus asa. Itulah doktrin yang harus dipahami dengan
baik dan sifat yang mesti melekat pada seorang kader sejati Muhammadiyah.
Sedangkan sifat
pasif, ikut-ikutan, jumud, kaku, reaktif, picik, masa bodoh, pamrih dan
pesimistis adalah karakter atau ciri-ciri kader karbitan.
Secara kasat mata
karakteristik kader karbitan tersebut terpantul dalam perilaku mereka
dalam persyarikatan, baik yang menjelma dalam pemikiran yang picik dan
jumud serta anti perubahan, ataupun dalam wujud orang-orang yang
menjadikan amal usaha sebagai “warung” untuk mengais hidup diri dan
keluarganya atau koleganya. Secara lebih jelas karakter karbitan ini
termanifestasi pada mereka yang dengan pongah, picik, tidak santun dan
tidak bijak dalam menyikapi bentuk penyegaran pemikiran keagamaan di
tubuh Muhammadiyah. Atau mereka yang tidak punya malu ‘menjual’
Muhammadiyah untuk kepentingan sendiri sambil sikut kanan kiri dan
menjilat serta melakukan manifulasi di sana sini.
Fenomena yang lebih
memprihatinkan, jika karakteristik kader karbitan ini menjakiti angkatan
muda Muhammadiyah. Dikhawatirkan mereka hanya akan tertarik dan begitu
asyik dengan program yang berkaitan dengan proyek-proyek yang membuat
kantong tebal. Apalagi jika sampai berani mengais keuntungan dengan
cara-cara yang manifulatif.
HARAPAN
Pemimpin
Muhammadiyah, bukan hanya harus mewarisi karakteristik kader sejati,
akan tetapi harus mampu manyadarkan atau menertibkan kader-kader
karbitan. Jika mereka (kader karbitan) tidak tersentuh atau bahkan
dibiarkan, jelas akan semakin menebar virus yang berbahaya bagi
keberlangsungan dan kejayaan persyarikatan. Mereka adalah benalu dalam Muhammadiyah.